Senin, 28 November 2016

SUARA MASINIS

SUARA MASINIS
Julia Rosmaya

Sejak APTB tidak diperbolehkan masuk jalur Busway, maka commuter line menuju Bogor menjadi pilihan.
APTB sudah tidak bisa dipastikan jam kedatangannya, belum lagi untuk naik tidak lagi di halte Busway tapi di pinggir jalan layaknya bis kota biasa. Tidak nyaman dan tidak ada kepastian waktu tempuh seperti dulu.

Commuter line lebih memberikan ketepatan waktu walau harus berdesak-desak dengan penumpang lain saat jam sibuk. Itupun hanya perjalanan Klender Baru ke Manggarai yang padat, Manggarai - Bogor pasti bisa duduk dan bobok santai.

Hiburan saat kereta padat adalah memperhatikan penumpang lain dan mendengarkan suara masinis! 

Lho kok? 

Entahlah, saya selalu berusaha mencocokkan pemilik suara dengan tampilannya. Sesuai tidak apa yang ada di bayangan saya dengan fakta.

Bila mendengar suara baritone rendah, berat,  menyapa dengan intonasi kalimat yang jelas terucap, terbayanglah masinis ganteng tersenyum ramah saat berbicara.

Bila suara yang terdengar suara yang rada cempreng dengan nada orang yang baru bangun tidur. Imajinasi saya berkata bahwa pasti orangnya agak gemuk pendek tapi ganteng. Hihihi..

Suara bass dengan nada ramah dan pengucapan kalimat perlahan, sabar pada setiap ketukan. Membuat saya membayangkan masinis dengan seragam lengkap berdiri di sisi kereta, angin bertiup perlahan sementara dia tersenyum manis pada setiap penumpangnya.

Kesusaian suara dengan tampang aslinya, hampir 70% sesuai bayangan! Masinis sekarang muda-muda, brondong #eh dan terlihat ganteng dengan seragamnya.

Ayo coba dengarkan suara Masinis, bayangkan orangnya dan buktikan khayalan anda dengan faktanya.

#CommuterLineStory

Selasa, 01 November 2016

DHARMA PRIA

"Mas, aku pulang agak larut ya. Barusan nangkap anjing tanpa dokumen. Tadi sudah telpon anak-anak, mereka kusuruh goreng nugget sendiri buat makan malam"

Terdengar sautan di seberang telpon. Perasaan bersalah Dokter Faya karena tidak bisa segera pulang setelah piket usai, tergambar jelas di wajahnya. Sepertinya pak Bayu, sang suami bisa memahami situasi.

Aku tercenung memandang. Tadi siang beliau bercerita bahwa sang suami sedang menggarap proyek besar yang mengharuskannya untuk lembur. Dokter Faya sudah berjanji untuk segera pulang. Tapi apa daya bila ada peristiwa luar biasa seperti usaha penyelundupan ini, sebagai dokter hewan karantina penanggung jawab piket, beliau tidak bisa bergegas pulang.

Kuserahkan dokumen penunjang untuk menahan anjing tersebut. Tanpa kutanya, Dokter Faya menjelaskan bahwa suaminya segera pulang walau seharusnya dia lembur malam ini. Sesaat kemudian beliau segera sibuk mengecek dokumen dan melupakan kehadiranku di ruangan.

Sebagai paramedik yang baru masuk kerja, aku mengagumi dokter Faya. Dedikasi dan komitmennya tinggi terhadap pekerjaan.

Sebagai seorang ibu dari dua anak usia SD, beliau berusaha menyeimbangkan waktu untuk suami, anak dan pekerjaan. Mereka tidak memiliki pembantu. Anak-anak berangkat dan pulang sekolah dengan mobil jemputan. Setelah pulang, mereka terbiasa mendapati rumah yang kosong. Untunglah mereka tinggal di perumahan dengan sistem cluster tertutup. Tetangga sekitar dan pak Satpam membantu mengawasi kedua anak dokter Faya hingga beliau atau suaminya pulang.

Pak Bayu memiliki jadwal kerja yang lebih teratur daripada kami. Hanya sesekali beliau lembur atau keluar kota. Dari cerita dokter Faya, sang suami turun tangan bahu membahu mengurus rumah dan kedua buah hati mereka. Katanya, sewaktu anak mereka balita, urusan menyuapi anak pagi hari adalah tugas sang suami. Siang dan sore diserahkan ke pengasuh. Saat itu pekerjaan pak Bayu lebih fleksibel dari sekarang. Bahkan mengantar anak ke sekolah saat TK pun dilakukan sendiri oleh pak Bayu. Sementara dokter Faya jarang memiliki kesempatan itu.

Sebagai seorang gadis yang masih mencari cinta, aku sering diberi nasehat oleh dokter Faya dan pegawai lain.

"Dita, carilah suami yang memahami pekerjaanmu. Kau bukan PNS biasa dengan jam kerja yang pasti. Kau akan sering pulang malam atau terpaksa menginap di kantor. Tuntutan pekerjaan kita seperti itu. Bila kau punya anak, didiklah mereka untuk mandiri di usia dini. Jangan buat mereka tergantung pembantu atau orang tuanya. Misalnya menyiapkan makan dan menyantapnya sendiri harus mampu dilakukan saat anak masuk usia SD".

Nasehat lebih serius disampaikan ibu kasie kami. Katanya, perempuan Muslim yang sudah menikah harus memiliki ijin suami untuk keluar rumah. Bila suami mengijinkan istri bekerja, ijin itu juga dilengkapi dengan tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaga diri saat jauh dari suami. Jangan salahgunakan kepecayaan suami. Tapi suami yang mengijinkan istrinya bekerja apalagi bekerja sebagai pegawai karantina juga harus memahami bahwa istrinya tidak bisa lagi 100% melayani suami. Sesekali menyiapkan makan atau menjaga anak tidak akan meruntuhkan wibawanya sebagai kepala keluarga.

Nasehat lain dari seorang rekan yang memiliki istri sesama pegawai karantina, "Bila suamimu nanti tidak ridho dengan sistem kerja kita, bila dia mengeluh terus menerus bahwa kau terlalu sibuk bekerja atau terlalu menuntut layananmu seperti suami lain yang istrinya tidak bekerja. Maka tidak ada jalan lain, kau harus keluar dari karantina. Hasil kerjamu tidak akan berkah tanpa restu suami, hatimu pun tidak tenang karena merasa bersalah serta merasa gagal jadi ibu dan istri yang baik. Jangan kuatir menjadi ibu rumah tangga. Rejeki tidak akan kemana. Kau bisa berbisnis dari rumah".

Mencari suami bukan hal yang mudah ternyata.

Aku salut untuk para suami pegawai karantina yang merelakan istrinya piket malam.

Para suami yang menyiapkan kopi dan sarapannya sendiri di pagi hari saat istri tercinta masih berjibaku dengan komoditi karantina di pelabuhan atau bandara.

Para suami yang tangan hangatnya terulur mengusap paha memar sang istri yang tersepak sapi di kandang pengamatan.

Para ayah yang tangannya melepuh terciprat minyak panas saat menggoreng ayam untuk makan anak-anaknya.

Para kekasih yang hanya bisa memandang wajah lelah istrinya di tempat tidur dan merelakan diri hanya mendapat kecupan di pipi.

Sebutan Dharma Pria mungkin pantas untuk mereka.
Salam hormat untuk Dharma Pria Karantina

#139LindungiNegeri
#KawalDaulatPangan
#SaveOurBiodiversity

Oleh : JR
Tayang : 4 Agustus 2016

SAYA MANTAN PENERIMA PUNGLI

SAYA MANTAN PENERIMA PUNGLI
- JULIA ROSMAYA

Hah?

Iya saya dulu sering menerima pungli. Walau saya tidak pernah menadahkan tangan secara langsung atau mengucapkan permintaan tambahan biaya di luar biaya resmi, tapi saya ikut menerima pungli.

Sistem yang salah? Atau lingkungan? Entahlah, yang pasti menerima pungli saat itu rasanya wajar-wajar saja. Tidak ada satu pun orang yang merasa bersalah menikmati pungli.

Seorang rekan berkata, “Darimana kita bisa beli kopi untuk menahan kantuk saat piket malam? Belum lagi kalau mulut sepet ingin merokok sehabis mengambil sampel darah hewan. Atau perut yang keroncongan diterpa angin malam? Memang si bos di Jakarta sana mikirin kita?”

Saat itu saya terdiam. Dalam hati membenarkan.

Tetapi semakin lama saya berada dalam lingkungan itu, rasanya semakin gerah. Tidak ikut menerima uang yang dibagikan (yang notabene uang pungli), dicap munafik. Menerima rasanya kok hati tak tenang.

Perlahan terjadi perubahan paradigma. Sistem keuangan negara mulai mengakomodir kebutuhan untuk sekedar makan dan minum kopi. Memang belum sebanyak yang bisa didapat dari pungli, tapi setidaknya ada dana yang dapat digunakan secara legal.

Merubah persepsi teman yang sudah terlanjur terbiasa menadahkan tangan tidaklah mudah. Tapi ternyata perlahan bisa juga. Walau awalnya banyak yang diam-diam masih “meminta” tapi lama-lama jumlah peminta-minta ini semakin berkurang.

Saat ini, bisa dikatakan uang yang saya terima hampir bersih dari pungli. Tahu tidak? Saya punya tabungan sekarang!!! Ya ternyata uang saya masih bersisa tiap bulan dan bisa dimasukkan tabungan. Senangnya melihat angka-angka di tabungan bertambah dari bulan ke bulan. Memang sih jumlahnya belum sampai belasan atau puluhan juta. Cukuplah untuk sekedar pergi berwisata bersama keluarga setahun sekali.

Saya heran sebenarnya. Kenapa pendapatan yang berkurang saat ini malah bisa menabung? Ternyata karena dulu saat pendapatan berlebih, pengeluaran saya juga berlebih. Makan sana sini, jadi cukong mentraktir teman-teman sepulang kerja. Beli baju, tas yang harganya wow. Pantaslah tidak ada yang bisa ditabung. Mungkin saat itu berpikir bahwa uang banyak kenapa harus dihemat.

Saya mantan penerima pungli … dan saya tidak bangga karenanya.

Mari jauhi pungli .. just say no to illegal fee !!!

Pengikut