Selasa, 29 Desember 2015

BODY RAFTING AT GREEN CANYON - A FULL PACKAGE OF ADVENTURE

Jam baru menunjukkan pukul 7 pagi saat kami tiba di Green Canyon. Antrian tiket untuk naik perahu di Green Canyon sudah mengular. Sepertinya liburan kali ini ratusan orang memiliki niat yang sama seperti kami. Tetiba seorang lelaki mendekati kami dan menawarkan paket body rafting seharga 200 ribu rupiah per orang. Paket ini meliputi makan siang. Kami yang tadinya berniat naik perahu dan berenang di Green Canyon akhirnya tertarik mengikuti paket body rafting ini. Apalagi melihat antrian perahu yang semakin mengular.

Green Canyon? Dimana itu? Ada beberapa orang yang bertanya saat kami mengatakan bahwa kami hendak pergi kesana. Green Canyon bukanlah Grand Canyon Amerika, Tapi Green Canyon Pangandaran. Green Canyon yang awalnya disebut "Cukang Taneuh", bahasa Sunda untuk menyebut jembatan Tanah, karena disini ada jembatan yang lebarnya 3 meter terbuat dari tanah berada di atas tebing kembar di tepi sungai. Keajaiban alam yang spektakuler ini tentu tidak akan Anda temui di tempat lain. Nama Green Canyon diyakini berasal dari seorang turis Perancis yang datang ke lokasi Green Canyon sekarang pada tahun 1993. Karena air dan lumut berwarna hijau yang berlimpah maka wisatawan itu memberikan nama Green Canyon. Green Canyon terletak di Desa Kertayasa, Ciamis, Jawa Barat, sekitar 31 Km atau 45 menit berkendara dari Pangandaran (Sumber http://www.indonesia.travel/sites/site/565/green-canyon).

Oleh seorang pemandu, kami diberi life jacket, helm pengaman dan sandal khusus. Setelah menunggu beberapa saat, kami pun naik kendaraan bak terbuka. Rombongan kami terdiri dari 14 orang, yang terdiri dari 10 orang dewasa dan 4 anak-anak plus 3 orang pemandu. Kami dilarang membawa barang apapun. Bila hendak membawa telpon genggam atau barang lain, harus dititipkan ke pemandu. Kebetulan kamera yang kami bawa adalah kamera tahan air yang dapat digunakan untuk memotret hingga kedalaman 3 meter sehingga aman digunakan.


Ternyata perjalanan menuju hulu sungai yang merupakan lokasi awal body rafting cukup jauh. Sekitar 30 menit perjalanan menempuh jalanan yang beberapa km diantaranya belum diaspal serta terus menanjak. Ada beberapa lokasi jalan hanya cukup untuk satu kendaraan dengan sisi kanan jurang yang cukup dalam. Jantung mulai berdebar, adrenalin mulai mengalir deras. Ada rasa tidak yakin akan kemampuan kendaraan yang cukup tua serta kemampuan sang supir untuk mengendalikan setir.


Akhirnya saat kaki menginjak tanah di titik awal body rafting, ada rasa lega yang memancar. Dari lokasi parkir kendaraan, kami harus menuruni jalan menurun yang cukup terjal. Untunglah dibantu dengan pijakan semen, walau di beberapa tempat hanya cukup untuk menaruh satu kaki saja. Petualangan dimulai. Secara bercanda saya berkata, kalau disuruh naik ke atas saya tidak akan sanggup, lebih baik turun terus ke bawah. Ini benar-benar harus terjun ke sungai mau tidak mau karena pilihan untuk naik ke atas tidak ada mengingat terjalnya jalanan.


Saat melihat sungai yang mengalir deras dengan air berwarna kehijauan yang jernih. Anak-anak melupakan perjalanan menurun yang melelahkan tadi. Tanpa menunggu komando mereka langsung terjun ke air. Airnya ternyata dingin dan saya menggigil kedinginan. Brrr ... setelah beberapa saat saya baru bisa menikmati berenang di dalam air dingin tersebut. Arus sungai cukup deras. Tanpa mengeluarkan tenaga untuk berenang, kami terbawa arus. Pemandu memberi peringatan untuk selalu berdekatan, mereka juga mengarahkan bila di depan ada bebatuan atau arus yang terlalu deras untuk dilalui. Kami diintruksikan untuk berenang telentang bila ingin menikmati pemandangan. Kemampuan untuk bisa berenang sebenarnya tidak diperlukan, karena ada life jacket sehingga kita bisa mengambang dengan aman. Yang amat sangat diperlukan adalah kemampuan untuk tetap tenang dan tidak panik saat mengikuti arus yang cukup deras. Selalu tenang dan keep calm adalah hal yang terus ditekankan oleh sang pemandu


Saat sungai tidak bisa dilalui karena ada bebatuan atau arus yang terlalu deras, pemandu meminta kami untuk naik ke atas tebing dan berjalan menyusuri tebing hingga ke lokasi dimana arus sungai aman untuk dilalui. Saat inilah stamina prima diperlukan. Di beberapa titik, tebing hanya cukup dilalui satu orang. Beberapa saat yang lalu, suami pernah berkata bahwa dia ingin mengajak anak-anak untuk naik gunung dan panjat tebing. Hobi dia dulu saat masih muda, keinginannya terlaksana sekarang. Kami tidak hanya berenang di sungai berarus deras, tapi juga naik gunung dan panjat tebing.

Pemandu juga memperhatikan anggota regu yang dipandunya. Bila anggota terdiri dari anak muda yang berjiwa petualang maka mereka mengarahkan untuk berenang di pusaran arus yang cukup deras. Rombongan kami usianya bervariasi mulai dari anak-anak hingga orang tua, sehingga pemandu selalu menyarankan kami untuk naik ke atas tebing dan berjalan untuk menghindari arus yang terlalu deras dan tidak aman untuk kami. Ssst kalau saya sih berjiwa muda hahaha ... lupa umur ...


Di beberapa titik, kami terjun ke air dari ketinggian 3-9 meter. Pertama ada rasa ngeri, tetapi melihat orang lain dan ternyata aman-aman saja akhirnya kami semua ikut terjun melompat dari ketinggian yang sama. Yang seru adalah saat arus cukup deras, kami benar-benar melakukan body rafting dalam arti sesungguhnya, tidak hanya berenang mengikuti arus. Mulut gelagapan kemasukan air sudah pasti, tetapi hal itu segera terlupakan. Adrenalin terpacu dan hanya kata seru tertera di otak.


Menurut pemandu kami, hari itu ada lebih 1000 orang mengikuti program body rafting, sehingga di beberapa titik kami harus antri cukup lama untuk melompat ke air. Untunglah tempat-tempat antrian tersebut memiliki pemandangan yang indah. Stalakmit dan stalaktit bertebaran membuat kami ternganga. Air menetes dari stalaktit, sangat jernih dan menggoda untuk diminum. Rasanya segar ... Iklan minuman kemasan yang menyatakan bahwa air dalam kemasan tersebut merupakan air alami pegunungan tidak dapat mengalahkan rasa air yang menetes dari stalaktit tersebut.

Kami pun terus berenang mengikuti arus, mendaki bukit dan memanjat tebing, loncat ke air, terhanyut oleh arus yang cukup deras demikian terus menerus. Hingga jemari kaki mengkerut kedinginan. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12, waktunya makan siang. Kami belum juga sampai di titik akhir karena arus pengunjung yang cukup banyak tadi. Untunglah ada tempat peristirahatan yang cukup lapang, dan ada semacam warung disana. Ya ... warung yang berdiri kurang lebih 5 meter di atas sungai. Kami dapat memesan mie kemasan dan gorengan. Perut yang terasa lapar setelah aktivitas fisik dari pagi pun terisi. Hal yang unik dari warung ini adalah makanan dan minuman diturunkan dengan menggunakan semacam keranjang. Jangan kuatir tidak membawa uang, karena oleh pemandu pesanan kami dicatat dan dapat dibayar setelah kami kembali ke base camp.

Setelah perut terisi, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Sebenarnya jarak sekitar 5-7 km ini dapat ditempuh antara 2-3 jam. Sekitar jam 12 seharusnya kami sudah dapat makan siang di base camp. Tetapi karena pengunjung yang cukup ramai, kami pun belum tiba di titik akhir.

Setelah istirahat, badan menjadi hangat. Akibatnya saat mencebur ke air, saya pun menggigil kedinginan. Perlu beberapa saat sebelum tubuh dapat menyesuaikan diri. Beginilah nasih orang yang tinggal di daerah panas, tidak bisa berendam di air dingin hahaha... Jalur yang kami jalani juga semakin menantang, anak-anak sudah lelah dan stamina berkurang. Si bungsu mendadak mengkerut ketakutan saat harus terjun ke air lagi. Tetapi dia melupakan rasa takutnya saat suami merengkuh dan mengajak terjun bersama. Si sulung ikut menangis ketakutan saat harus mendaki tebing yang sangat terjal. Untuk ukuran dia sebagai anak kota dan jarang melakukan aktivitas fisik, bisa naik ke tebing setinggi dan securam itu rasanya mustahil. Sehingga tidak heran mentalnya mendadak turun dan rasa takut menguasai diri. Saya sendiri? Terus terang ada rasa takut juga, tetapi kalau mamanya takut, pasti anak-anak lebih takut lagi. Akhirnya saya tidak melepaskan tangan si bungsu dan papanya tidak melepaskan tangan si sulung saat kami harus berenang di arus yang cukup deras.




Akhirnya kami sampai di titik akhir dan menunggu untuk dijemput kapal. Ada sebuah batu yang cukup besar yang menjadi pembatas bagi kapal untuk masuk ke aliran sungai yang kami lalui. Di atas batu itu banyak sekali orang menunggu untuk dijemput kapal. Antrian cukup panjang, sehingga pemandu memutuskan untuk membagi dua rombongan. Sebagian dari kami naik ke batu besar dan menanti dijemput sedangkan sebagian lagi harus naik tebing dan turun ke batu yang lebih kecil untuk menunggu kapal penjemput. Dan aktivitas pendakian akhir ini menurut saya yang paling ekstrim. Mungkin karena stamina sudah habis dan kata seru di otak sudah kehabisan serunya :). Kami harus turun menggunakan tali dan berpijak pada batu. Kekuatan tangan dan juga kekuatan nyali sangat diperlukan. Saat mengangkat tubuh, terikrar di dalam hati... harus lebih fit dan kurus lagi sehingga tidak harus kehabisan tenaga saat mengangkat tubuh sendiri. Hmmm .... walau ikrar ini terlupakan saat menghadapi sebaskom lobster kemudian hahaha...

Sayang sekali kamera sudah hampir habis baterainya, sehingga tumpukan manusia di atas batu tersebut tidak saya abadikan. Sambil menunggu kapal, saya memperhatikan tebing dan batu yang barusan tadi saya panjat ... Rasanya tidak yakin bahwa saya barusan melewatinya. Akhirnya kapal jemputan kami datang. Kami ternyata hanya dibawa ke dermaga 2 bukan dermaga akhir. Kapal jemputan mengutamakan untuk menjemput orang-orang di batu besar tadi, karena situasi disana kurang aman. Ada beberapa orang yang sempat terpleset dan jatuh ke air yang berarus sangat sangat deras, untunglah pemandu cukup sigap menolong.

Setelah beberapa saat menunggu di dermaga 2, kami pun naik kapal ke dermaga akhir. Dan saya ... menggigil kedinginan di kapal. Baju basah, perut kosong, hembusan angin dingin sungguh kombinasi yang baik untuk menggigil. Brrr ....


Sedihnya saat sampai di base camp, air untuk mandi habis. Sehingga kami hanya bisa berganti baju tanpa bilas. Segera pemandu mempersilahkan kami untuk makan siang pada pukul 16.30 WIB. Sungguh makan siang yang telat hahaha ... Lobster yang kami bawa tandas tak bersisa, plus ayam goreng, lalapan dan sambal jatah makan siang kami. Ah nikmatnya makan kali ini.

Kesimpulannya? Body rafting ini sungguh paket lengkap untuk mereka yang suka berpetualang. Ada berenang di arus deras, ada rafting dengan menggunakan tubuh saja, ada naik gunung, ada panjat tebing, ada terjun ke air dengan ketinggian yang lumayan. Lengkap kap kap ... Tapi soal keamanan, semua terjamin. Pemandu sangat sangat mengetahui mana yang kira-kira mampu dilalui oleh peserta. Satu hal pasti, apa pun kata pemandu harus dituruti tanpa pertanyaan. Saat mereka bilang, telentang dan luruskan kaki ... lakukan tanpa banyak tanya. Karena bila melanggar tergores oleh batu menjadi imbalannya. Berenang ke kanan atau kiri ... lakukan ... karena bila tidak menurut akan terbawa arus atau menabrak batuan. Intinya jangan mudah panik dan khawatir. Saran saya hanya satu, berkunjunglah ke Green Canyon saat weekend biasa jangan libur panjang seperti saat ini. Terlalu banyak orang membuat antrian menjadi panjang, akibatnya perjalanan menyusuri sungai menjadi lama.

Kalau ditanya, mau tidak ikut body rafting lagi? Saya tanpa berpikir dua kali akan bilang mau ... hahaha ... lupa sudah dengan rasa takut dan seram saat panjat tebing dan meloncat ke air. Eh tapi sepertinya saya harus membawa baju anti air yang membuat tubuh tetap hangat ... Hmmm beli dimana ya ??


Terima kasih banyak untuk LS dan keluarga yang telah menyediakan kamar untuk kami inapi ... mohon maaf bila merepotkan.
Untuk MWA, RSD, NZ hiks hiks ini seharusnya petualangan seru bersama kalian... ayo dirancang lagi kapan-kapan ya ...

Pengikut