Rabu, 30 September 2015

HUJAN SEPTEMBER

HUJAN SEPTEMBER
-Julia Rosmaya

Salma belum bergerak dari tempat duduknya di teras. Angin yang membawa titik hujan terasa dingin di tubuh. September hendak berakhir, tetapi hujan deras yang ditunggunya tidak datang juga. Dia ingin mencampur air matanya dengan air hujan, mengaduknya hingga tak terasa.

Kabar yang datang kemarin sungguh terasa menyesakkan. Perpisahan itu terasa nyata sekarang.

Bila beberapa bulan lalu dia bisa menerima bahwa inilah jalan terbaik baginya, maka sore ini kenyataan itu terasa menghardik, mengagetkan.

Salma tak menyangka bahwa Ardi benar-benar pergi. Kemungkinan dia bertemu Ardi sangat kecil bahkan mungkin tak akan pernah lagi.

"Hai, bukannya kau yang meminta pada Yang Kuasa untuk dipisahkan?" suara hatinya berkata.

"Tetapi tidak seperti ini!" jerit hatinya yang lain.

Ardi, lelaki berahang kukuh yang diam-diam menyusup pelan di relung hatinya beberapa tahun terakhir ini. Ardi yang terlarang, yang tidak dapat dimilikinya secara utuh, sekarang atau selamanya. Ardi yang dengan kesadaran penuh ditinggalkan.

"Kau tahu, dia sengaja melamar menjadi atase di luar negeri karena kau. Dia tidak bisa melihatmu setiap hari tanpa diperbolehkan untuk menyapa. Dia tidak sanggup hanya bisa berbasa basi formal di grup WA kantor denganmu. Intinya dia tidak bisa menerima kenyataan tidak bisa menjadi temanmu lagi" diingatnya lagi kata-kata Rosa kemarin.

Rosa sengaja menghadangnya pulang dan memperlihatkan foto surat penugasan Ardi serta tiket pesawatnya. Ardi berangkat sore ini.

Salma mendesah lagi.

"Mama...  Ayo Ma kita makan, Aya lapar"..  Salma tersentak. Segera dihapusnya air mata, dipasangnya senyum demi gadis kecilnya.

Ini jalan terbaik. Apapun yang sedang terjadi dengan rumah tangganya tidak bisa menjadi alasan untuk mengharapkan lebih dari lelaki lain.

Salma bergerak masuk ke dalam,  dan hujan yang dinantinya pun turun.

Hujan September baru datang sekilas
Rinainya tak mampu membasahi bumi

#OneDayOnePost 
#FebruariMembara
#hari_keduapuluh

SELFIE, WEFIE DAN NARSIS

Selfie, Wefie dan Narsis

Sekarang banyak orang mengunggah foto di sosial media dengan tagar selfie. Sayangnya foto yang diunggah itu adalah foto yang bukan kategori selfie.

Apa sih selfie itu?

Selfie adalah pengambilan foto oleh diri sendiri, baik menggunakan tangan maupun dengan bantuan tongsis alias tongkat narsis. Ada juga yang menggunakan bantuan cermin untuk menghasilkan foto selfie.
Hasil pengambilan foto selfie biasanya khas, diambil dari atas kepala atau sejajar mata untuk menampilkan sudut terbaiknya.

Mengambil foto secara selfie disukai orang karena kita bisa mengatur sendiri bagian mana dari tubuh yang hendak diambil.

Ada lagi istilah wefie, yaitu pengambilan foto selfie dengan peserta lebih dari dua orang.
Nah bila foto diambil oleh orang lain itu namanya bukan lagi foto selfie. Tetapi foto biasa.

Kalau foto narsis apa pula itu?

Narsisisme adalah perasaan cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis. Saat ini sering disingkat dengan kata narsis.

Foto narsis meliputi foto yang diambil orang lain, foto selfie, foto wefie atau foto apa pun yang tokoh utama dalam foto itu adalah diri sendiri.

Saya termasuk narsis tidak? Iya ... hahaha...

Dulu sekali, saya kemana-mana membawa kamera. Dulu itu jarang orang yang bisa mengoperasikan kamera SLR sehingga koleksi foto di album sebagian besar adalah foto teman-teman saya tanpa saya di dalamnya.

Saat ini, kualitas kamera HP sudah cukup bagus untuk sekedar di unggah di sosial media. Sehingga mulailah saya memanjakan diri sendiri dengan ... Ambil foto disana, ... ambil foto disini menggunakan tongsis, ... minta tolong diambilkan orang ... intinya saya harus ada di foto itu hahaha...

Narsis itu jelek atau bagus. Tergantung sudut pandang. Apa pun yang berlebihan itu tidak baik.

Jadi jangan salah pakai kata selfie, wefie dan narsis di tagar foto anda ya ...

Selasa, 22 September 2015

WHAT'S IN A NAME

What's in a name?
That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
William Shakespeare


Nama depanku Julia ... tapi jarang sekali ada yang memanggil saya dengan nama itu. Sedari kecil selalu mengenalkan diri dengan nama Maya. Malah beberapa teman masa kecil jarang yang mengetahui bahwa nama depan saya Julia. Sebagian dari mereka hanya tahu bahwa nama panjang saya Rosmaya.

Kata Papa, nama Julia berasal dari bulan kelahiran saya. Sedang Rosmaya adalah gabungan dari nama Rustam dan Amariyah. Riasari karena mereka sangat bergembira mendapatkan anak perempuan, setelah sebelumnya kakak lelaki saya meninggal saat dilahirkan.

Lalu kenapa dipanggil Maya, jujur saya tidak tahu jawabannya, Tapi saya suka nama MAYA. Empat suku kata daripada JULIA yang terdiri dari 5 suku kata. Rasanya lebih singkat dan akrab.

Nama MAYA sebagai panggilan aman-aman saja saat SD hingga SMA. Saat kuliah di Yogya, mulailah saya mengetahui bahwa nama 4 suku kata ini dapat dipanggil dengan berbagai cara.

Cara pertama adalah panggilan Mae ... bukan May ...

Cara kedua adalah panggilan Yak ... dengan huruf K diucapkan secara jelas

Cara ketiga adalah Yam ... yang merupakan singkatan dari AYAM .. hahaha cubit Wiwin yang memberikan nama panggilan ini.

Ada juga yang memanggil saya dengan kata Ju' .. dari nama Julia tentu saja. Tetapi terdengar imbuhan K di akhirannya. Untuk ini maka peluk Sophia Setyawati yang akhirnya kupanggil dengan mBakPia atau Sop ... yang diucapkan serupa dengan sop ayam.

Panggilan kesayangan dari seseorang, ehm ... Non. Entah apa maksudnya.

Di angkatan kami ada juga yang bernama Maya, dengan nama lengkap Maya Damayanti. Untuk membedakan kami berdua, maka ada yang memanggil saya dengan julukan Maya besar sedang yang satu lagi Maya cilik. Berdasar ukuran badan tentu saja. Herannya mengapa bukan Maya tinggi langsing ya? Kenapa harus Maya besar? Padahal sumpah, badan saya dulu termasuk kurus langsing. Kalau Maya besar berkesan berbadan besar hahaha ‪#‎protes‬

Tahun berlalu dan saya bekerja di Pelabuhan Merak. Ternyata di Lampung ada pula seorang dokter hewan bernama Maya Swastyasari. Sering saya tiba-tiba ditelpon atau di sms seseorang padahal sebenarnya yang dituju adalah Maya yang satu lagi. Sambil tertawa saya selalu menyarankan mereka yang salah sambung itu untuk menulis di kontak HP mereka bahwa saya Maya Merak, sedang bu Maya yang satu lagi adalah Maya Lampung. Kesalahan salah sambung minimal berkurang.

Saat sudah bekerja di Bekasi maka saya menyarankan hal yang berbeda untuk para penelpon yang salah itu, "Tulis nama saya Maya BUTTMKP saja ya," sesuai dengan nama UPT saya saat ini.

Tapi percayakah anda bila saya menyatakan bahwa ada seorang teman yang sama sekali tidak pernah memanggil nama? Lima tahun sudah saya mengenalnya dan hanya sekali dia memanggil saya dengan panggilan Maya. Dia memanggil dengan cara "Eh, Eh..." atau langsung mencolek supaya saya menanggapinya. Jadi alangkah kagetnya, saat suatu hari dipanggil dengan cukup jelas, "Maya... kata ini artinya apa ya?" Suatu rekor akhirnya dia bisa memanggil nama saya hahaha....

Suami dulu bila menulis surat memanggil saya dengan kata My Julia, karena katanya nama Maya terlalu umum. Ada seorang keponakannya bernama Maia Lestari yang punya nama panggilan Maya tentu saja. Saat ini dia memanggil dengan kata Mama atau sayang. Jarang panggilan Maya terdengar dari mulutnya. Tetapi saya protes bila nama di HP nya tertulis Mama Reihan atau Mama Nadia. Rasanya kurang mesra di mata. Akhirnya dia menulis nama saya My Julia. Kembali ke panggilan masa lalu.

Tahukah anda bahwa ada suatu tempat yang bernama Rekamaya? Maya yang direka-reka atau Maya yang berada dalam rekaan? Hahaha entahlah apa artinya.

What's in a name ... Maya is still smiling for you ...

Rabu, 16 September 2015

OPSPEK - SEBUAH KENANGAN (PART 2)

Bunyi jam weker diabaikan oleh Nina. Rasanya baru sekejap dia memejamkan mata. Lima menit lagi, gumamnya dalam hati dan kembali memeluk guling. Lima menit ternyata menjadi setengah jam. Dengan panik Nina segera masuk ke kamar mandi. Rambut ikalnya harus dikuncir dan itu membutuhkan waktu lama. Pagi ini sang rambut tidak mau diajak bekerja sama, hasil kuncirannya tidak karuan. Masa bodohlah, pikir Nina, dia tidak berniat tampil cantik di hadapan para Raka itu.

Untunglah saat Nina tiba di kampus, barisan masih belum rapi. Pukul 6 pagi waktu KH tidak jelas tepatnya pukul berapa. Semaunya para Raka menetapkan kapan saatnya pukul 6 itu. Diingatnya hari pertama opspek Fakultas, pukul 6 waktu KH ternyata adalah pukul 5.30! Banyak temannya yang dihukum karena dianggap terlambat datang.

Pagi ini para Raka agak baik hati, hukuman yang diberikan cenderung lunak. Nina banyak tertawa pagi itu. Ah kenapa tidak dari kemarin mengalami opspek yang menyenangkan seperti ini? Hari ini peserta dibagi dalam kelompok-kelompok dan diberi berbagai macam tugas.

Dalam kelompok Nina terdapat Ana. Nina senang, setidaknya ada yang dia kenal. Seorang lelaki berwajah bayi mengambil peran sebagai pembagi tugas. Nina menuruti saja apa kata lelaki itu. Salah satu tugas mereka adalah meminta tanda tangan dosen dan kakak kelas. Segera mereka menghambur ke dalam kampus.

Kampus FKH yang terletak di Sekip ini terlihat nyaman untuk belajar. Berlantai 2 dengan bukaan jendela yang besar-besar. Sepertinya tidak diperlukan pendingin udara di dalamnya. Kipas angin besar terletak di posisi yang strategis di setiap ruangan. Di bagian bawah terdapat ruang dekan dan staf administrasi. Juga ada beberapa laboratorium di sisi kanan dan kirinya. Nina belum tahu laboratorium apa saja yang terdapat di lantai bawah.

Di tengah-tengah gedung, terdapat lapangan kecil yang digunakan untuk bermain bulutangkis. Di depannya terdapat perpustakaan yang isinya lumayan lengkap. Buku-buku tebal dan tampak tua seperti menantang untuk dibaca. Kantin ada di ujung, hanya kecil saja tampaknya. Kamar mandi terletak di ujung kanan dan kiri. Kamar mandi model lama yang setiap biliknya besar-besar. Kabarnya bangunan ini dibangun di tahun 60an, dimasa presiden Soekarno. Di bawah tangga belakang kanan dan kiri disekat menjadi ruangan kecil. Masing-masing ruangan BEM dan mushola.

Terdapat beberapa ruangan kelas di lantai 2, mulai dari ruangan yang hanya cukup untuk 5-10 orang hingga ruangan besar yang cukup untuk 100 orang lebih. Terdapat juga beberapa laboratorium di sudut-sudutnya. Yang disukai Nina dari gedung ini adalah tangga utamanya. Nina membayangkan memiliki foto disana bersama teman-teman kelasnya nanti.

Setelah berburu tanda tangan, mereka mengikuti berbagai macam permainan yang dipandu oleh para Raka. Sekali lagi lelaki berwajah bayi yang belakangan diketahui bernama Anto itu mengambil alih pimpinan kelompok. Dalam kelompok Nina juga terdapat Hans, lelaki bertubuh tinggi yang bersamanya mendaftar ulang. Selain itu juga ada Wina, perempuan tomboy yang saat daftar ulang ada di belakangnya.

Nina melirik jam tangannya, sebentar lagi pukul 14. Menurut jadwal, acara penutupan sebentar lagi dimulai. Mereka digiring masuk ke ruangan kelas besar di lantai 2. Nina merasa kepanasan, jaket almamater berwarna tidak jelas itu (entah abu-abu atau hijau keabuan) tidak nyaman dipakai di dalam ruangan. Deru kipas angin di atas kepalanya sedikit mengurangi hawa panas. Acara penutupan pun dimulai

Akhirnya opspek benar-benar usai. Mereka bernyanyi bersama, tidak ada lagi para Raka yang sanger. Dilihatnya di ujung, lelaki berkumis rapi itu. Nina penasaran ingin tahu namanya. Mereka belum sempat berkenalan. Anto mendekati Nina dan Ana, mengajak mereka untuk berfoto bersama Raka. Tetiba tidak ada lagi batasan antara peserta dan para Raka. Semua tertawa dan berfoto bersama.




Kelelahan fisik dan mental beberapa hari belakangan langsung lenyap. Dia berlari kesana kemari mengikuti kamera berada. Terlupakan kekesalan karena tugas-tugas yang absurd dan tak masuk akal. Dipikir-pikir lagi masa kuliah nanti akan berbeda dengan masa SMA. Nina yakin dia akan menjalani saat dimana kurang tidur dan tugas bertumpuk adalah makanan sehari-hari. Apa yang sudah dilakukan beberapa hari belakangan masih belum apa-apa.

Nina bertekad akan satu hal... Empat tahun lebih disini dia harus banyak bersenang-senang dan berteman. Having fun and making friends. Dilihatnya Ana dan Anto. Mereka berdua akan banyak mewarnai hari-harinya nanti.


Dedicated to all songosijier.
Silver year reunion is coming up ... Miss you all

Selasa, 15 September 2015

OPSPEK - SEBUAH KENANGAN (PART 1)

Nina tidak habis pikir, kenapa caplak dijadikan salah satu tugas dalam Opspek kali ini. Memang kami ini mahasiswa Kedokteran Hewan, tetapi caplak tidak seharusnya menjadi penanda identitas, sungutnya dalam hati. Dibacanya lagi daftar tugas untuk esok hari. Kalung tali rafia dengan liontin dari caplak anjing jantan dan betina yang dimasukkan dalam plastik serta tulang sapi; rambut dikuncir 5 dengan pita yang berbeda warna; kaus kaki panjang berwarna merah, topi dari bola plastik yang dibelah dua; surat cinta untuk Raka; ulasan siaran RRI tengah malam nanti; dan masih banyak lagi.

Sudah pukul 7 malam dan belum ada satu pun benda dalam daftar itu dimilikinya. Nina mendesah lagi, harus segera bergerak mencari malam ini, bila esok tidak ingin terkena hukuman Raka.

Hari masih gelap ketika Nina keluar dari kamar kostnya. Adzan Subuh baru berkumandang 20 menit yang lalu. Kampusnya dekat, hanya beberapa meter dari kos. Dia hanya tidur 2 jam malam ini. Nina baru tidur pukul 1 pagi setelah selesai membuat ringkasan berita RRI tengah malam dan surat cinta. Jam 3 dinihari, dia sudah bangun untuk membuat kalung dengan liontin plastik berisi caplak dan tulang sapi. Setelah mandi, dia harus bersusah payah mengikat rambut ikalnya menjadi 5 bagian dengan pita warna warni.

Tulang belikat sapi didapatnya dari seorang teman yang berbaik hati membagi tulangnya yang berlebihan. Tadi malam mereka bertemu di toko kelontong saat bersama-sama membeli bola plastik. Sebagai ganti, dia membuatkan surat cinta untuknya. Caplak didapatnya tanpa sengaja saat melihat seorang teman yang lain mengejar anjing tetangga. Mereka berdua berhasil memojokkan anjing tersebut dan mengambil caplak-caplak di tubuhnya tanpa belas kasihan. Semoga saja tidak ada yang bertanya padanya, mana caplak jantan dan mana yang betina. Sungguh, Nina tidak tahu. Rambut ikalnya yang dipita 5 bergoyang-goyang di antara lubang pada topi bola plastiknya. Yogya pagi itu sangat dingin, kaus kaki panjang merah telah membantu menghangatkan tubuh.

Tak disangka, walau hari masih pagi sudah beberapa orang hadir di halaman depan kampus. Nina segera mempercepat langkahnya. Ketika tiba-tiba dia menabrak seseorang dan jatuh. Lelaki berkumis itu segera membantunya berdiri. Tanpa kata-kata mereka berdua segera mempercepat langkah menuju barisan yang sudah terbentuk.

Nina lega karena berhasil sampai di barisan tanpa terlambat. Dibenahinya barang-barang bawaan yang terletak di dalam tas karung goni. Diingatnya lagi daftar tugas kemarin. Sepertinya tidak ada yang tertinggal, gumamnya. Dia melonjak kaget saat mendengar bentakan seorang Raka. Tidak digubrisnya bentakan itu. Dia berusaha keras untuk tidak terlihat oleh para Raka yang lain.

Matahari jam tujuh pagi bersinar terang, sudah satu jam lebih mereka berdiri. Apapun yang mereka lakukan selalu salah di mata para Raka. Sudah banyak temannya yang terkena hukuman. Hukuman yang diterima bervariasi, mulai dari menyanyi lagu anak-anak dengan lirik yang diubah, hingga berdiri di pojokan sambil berteriak "Viva Veteriner, FKH Jaya!".

Nina tidak bisa menahan tawa, saat dua orang teman yang berperawakan subur berperan sebagai jam untuk penanda waktu. Teman lelakinya berperan sebagai pemukul gong, sedang sang teman perempuan sebagai gongnya. Disembunyikannya senyum saat seorang Raka menatap tajam. Dia tidak mau hanya karena senyuman, harus mendapat hukuman.

Akhirnya mereka dapat beristirahat sejenak untuk sarapan pagi. Nina menghembuskan nafas lega. Diperhatikan sekelilingnya. Ada lebih dari 90 orang peserta Opspek FKH tahun ini. Merekalah yang akan menjadi teman sekelasnya hingga 4 tahun ke depan. Nina hanya mengenal beberapa di antara mereka, terutama yang pernah ditemui saat mendaftar ulang beberapa hari sebelumnya.

Baru saja Nina membenahi bekas sarapan paginya, ketika seorang Raka maju ke depan dan memerintahkan untuk bertukar kaus kaki dengan lawan jenis. Kaus kaki yang digunakan perempuan berwarna merah sedangkan lelaki berwarna biru. Mereka diberi waktu 5 menit untuk mencari pasangan dan bertukar kaus kaki. Nina segera bertindak cepat, dibuka kaus kaki merahnya dan segera memberikan ke lelaki terdekat yang berada di sebelahnya. Diterima kaus kaki biru dari lelaki tersebut dan segera dikenakannya. Nina dan lelaki itu segera berdiri dan berbaris rapi.

Ternyata jumlah lelaki dan perempuan tidak seimbang. Lebih banyak lelaki daripada perempuan, sehingga mereka yang tidak mendapat pasangan harus rela dihukum memimpin senam pagi itu.

Makan siang akhirnya tiba. Mereka akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Nina lelah, sebenarnya dia tidak merasa lapar. Tetapi hari masih panjang. Kegiatan hari ini berlangsung hingga Ashar dan dia harus mengisi perutnya.

"Bu punten, saya tidak bisa makan pedas. Apakah ada makanan yang tidak pedas bu?" didengarnya suara halus dengan logat sunda kental meminta makanan pengganti yang tidak pedas kepada ibu yang membagi makan siang.

Si perempuan Sunda itu menoleh ke arah Nina dan melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak bisa makan pedas. Kemarin aku sudah minta ke panitia Opspek untuk menyediakan makanan yang tidak pedas untukku."

Nina tersenyum. Dia langsung menyukai perempuan itu. Mereka berkenalan, namanya Ira. Gadis Jawa yang sejak lahir tinggal di Bandung. Mereka berdua duduk di dekat Ana, teman yang memberinya tulang sapi tadi malam. Mereka bertiga bercakap mengenalkan diri.

Setelah makan siang, mereka dikumpulkan di sebuah ruangan untuk menerima materi mengenai apa itu Fakultas Kedokteran Hewan. Nina mengantuk setengah mati. Ditahannya rasa kantuk itu. Dia tidak mau menerima hukuman. Sebagai ganti diperhatikan teman-teman di sekelilingnya.

Lelaki berkumis yang tadi pagi dia tabrak duduk tidak jauh darinya. Nina jarang melihat kumis serapi lelaki itu. Teman SMA di Jakarta jarang yang berkumis. Papa dan adik lelakinya berkumis tetapi tidak selebat dan serapi dia.

Nina duduk di bangku tengah, sehingga dia leluasa memandang kesana kemari. Semua orang ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Lima pulau besar ada semua, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tadi dia sempat mendengar berbagai logat daerah. Logat Jawa dengan berbagai versi. Mulai versi Banyumasan yang kental hingga versi Jawa Timuran yang terdengar lantang. Belum lagi logat minang, melayu dan berbagai macam logat lain yang belum bisa ditebak berasal dari daerah mana. Tidak semua kata-kata yang diucapkan oleh mereka segera dipahaminya. Tetapi bahasa senyuman memang paling ampuh. Mereka senasib saat ini dan Nina yakin mereka semua teman-teman yang baik.

Hari itu berjalan lancar. Besok mereka diharuskan berkumpul di Bulak Sumur, saatnya opspek Universitas. Lusa kembali lagi opspek Fakultas. Nina sudah siap. Harus siap batinnya. Tugas apa pun yang Raka perintahkan harus segera dipenuhi. Betapa pun absurdnya.









CINTA SEPUDAR PARFUM

Kupandang sekeliling, hijau dimana-mana. Udara dingin Kaliurang menusuk tulang. Kurapatkan jaket dan kupandang lelaki yang duduk di sebelahku. Rahang dengan garis yang tegas, rambut tipis tertiup angin serta mata yang sering melihatku dengan kilauan cinta. Dia hanya sedikit berbicara sejak kami berangkat dari Yogya pagi tadi.

"Kita harus putus!" katanya perlahan.

Aku kaget. Hubungan kami masih baru, masih dalam hitungan bulan. Sekilas pun dia tidak menyiratkan bahwa hubungan kami harus diakhiri.

"Kenapa?" aku bertanya lirih. Dadaku serasa sesak. Kebahagiaan yang beberapa detik lalu meraja disana tergantikan oleh rasa perih tak terkira.

"Karena memang harus," jawabnya perlahan. Kali ini dia melihat mataku yang sudah mulai berkaca-kaca.

"Jangan menangis. Aku sayang kamu, tetapi kita tidak ditakdirkan bersama," katanya lagi sambil menggenggam erat tanganku.

Aku tergugu. Air mataku mengalir deras tanpa suara.

"Kenapa? Kenapa Bram? Kau tidak bisa tiba-tiba memutuskan kita untuk berpisah, tanpa aku tahu apa alasannya."

Dia hanya memandangku lama dan kemudian memelukku erat. Aku menumpahkan air mata di jaket yang dia kenakan. Parfum yang dikenakannya pagi itu sudah pudar wanginya, bau badannya yang kusuka memenuhi cuping hidungku. Kuserusukkan lagi kepalaku di dalam pelukannya untuk menghirup bau yang kusuka.

Dia masih memelukku saat dia berkata lagi, "Aku sayang kamu. Kamu harus yakin akan hal itu. Tetapi ada beberapa hal yang tidak bisa aku terima dari hubungan kita."

Dia mengusap rambutku dan berkata, "Beberapa hari lalu, Tito datang ke kosku. Dia menanyakan bentuk hubungan kita berdua. Kata dia, kau masih pacarnya!"

Aku tersentak. Kulepaskan pelukannya, "Tito bukan pacarku. Kamu tahu itu. Hubungan kita sudah lama berakhir, bahkan sebelum aku memutuskan untuk benar-benar meninggalkan dia."

"Tapi tidak seperti itu yang dia katakan ke aku. Dia bilang, kau masih miliknya dan menyuruh aku untuk mundur!"

Dengan nanar kutatap matanya, "Kamu memilih mundur? Kamu tidak percaya kata-kataku bahwa aku dan Tito sudah berakhir?"

"Kau membohongiku Tia. Kalau kau dan dia sudah berakhir, kenapa kamu masih ramah padanya? Kamu tahu perasaanku saat kamu beramah tamah dengan dia di depanku?"

"Bram, dia temanku. Walau dulu kami pernah punya hubungan yang istimewa tidak berarti saat hubungan itu berakhir, aku dan dia menjadi musuh. Dia adalah salah satu sahabatku, selain kamu," air mataku berhenti mengalir. Rasa marah perlahan mendesak keluar dari hatiku.

Tito dan aku sudah lama berpisah. Hubungan kami putus sambung. Aku tidak tahan dengan sikapnya. Dia ramah, baik pada siapa saja, terutama pada perempuan cantik. Keramahannya itu kadang disalahartikan oleh para perempuan yang dekat dengannya. Celakanya bagiku, Tito membalas setiap perhatian para perempuan itu. Tidak terhitung beberapa orang perempuan terutama adik kelas yang menjadi korbannya. Sementara aku memaafkan lagi dan lagi setiap kali dia kembali padaku.

Sahabatku yang lain pernah berkata bahwa aku perempuan bodoh, yang mau saja diperlakukan semena-mena oleh Tito. Aku lelah berurai air mata setiap kali dia punya hubungan baru dengan perempuan lain. Akhirnya kuputuskan bahwa hubungan kami harus benar-benar berakhir. Saat Tito meminta maaf dan berjanji untuk memperbaiki hubungan kami, aku menyatakan tidak.

Aku melakukan tindakan drastis. Aku pindah kos dan sengaja meminta staf akademik untuk tidak satu kelompok koas dengannya. Sebisa mungkin aku menghindar saat bertemu di kampus. Barulah Tito sadar, bahwa kali ini aku serius untuk berpisah. Tetapi walau bagaimanapun dia adalah salah satu temanku, sehingga kami masih sesekali mengobrol di rapat organisasi yang kami ikuti. Dia juga masih duduk di sisiku saat kuliah, tetapi ajakannya untuk kembali bersama selalu kutolak dengan halus.

Saat yang sama, aku menemukan bentuk hubungan baru dengan Bram. Kami sudah berteman sejak lama. Dia selalu ada saat aku ingin berdiskusi hal-hal lain di luar kuliah. Wawasannya luas dan tak kusangka dia ternyata tipe yang sangat perhatian. Lambat laun aku jatuh hati dengannya dan melupakan Tito. Kami pun memutuskan untuk bersama. Tetapi kebahagiaan yang kurasakan bersama Bram ternyata hanya dalam hitungan bulan. Saat ini dia dengan tegas menyatakan bahwa kami harus berpisah.

"Bram tahukah kamu, walau hubungan kita masih baru perasaanku ke kamu lebih dalam daripada aku ke Tito," kuulurkan tangan untuk mengusap pipinya. "Aku tidak bisa berpisah dari kamu," lanjutku lirih.

Bram memegang tanganku yang masih berada di pipinya. Kami bertatapan.

"Tia, maafkan aku. AKu tidak bisa memiliki perempuan yang masih dimiliki lelaki lain."

Kutemukan ketegasan di matanya, di antara binar cinta yang sesekali masih terlihat. Aku tahu dia serius dengan kata-katanya. Hatiku retak berkeping-keping.

Aku cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa bila dia memutuskan sesuatu, maka akan susah untuk digoyahkan. Aku membalikkan badan sambil berurai air mata. Aku berlari menyusuri jalan setapak yang tadi kami susuri. Tidak percaya bahwa beberapa saat yang lalu kami melewati jalan ini sambil bergandengan tangan.

AKu mendengar derap kaki di belakangku. Bram berhasil menyusul dan memelukku dari belakang, Aku terisak.

"Tia, aku sayang kamu. Tapi kita tidak bisa bersama. Maafkan aku," Bram membalikkan badanku dan menarikku ke dalam pelukannya.

Aku tidak berkata apa-apa. Baru kali ini kurasakan rasa sakit seperti ini. Saat pertama Tito dan aku putus, rasanya tidak seperti ini. Kusadari bahwa Bram lah yang lebih kucintai daripada Tito. Dialah lelaki yang ingin kuserahkan seluruh hidupku.

Kuhirup parfumnya yang mulai memudar, mematrinya di dalam ingatan. Setitik harapan timbul di hatiku, bahwa suatu hari nanti Bram akan tahu sedalam apa cintaku padanya. Biarlah kami berpisah kali ini. Biarlah. Waktu yang akan membuktikan bahwa Bram salah, akulah satu-satunya perempuan di dunia ini yang mencintainya sepenuh hati.

Cintanya mungkin bisa memudar seperti parfum yang digunakannya, tetapi tidak dengan cintaku.



Dedicated to someone...
Thanks to LS atas judul yang menginspirasi

PERFUME

Pagi ini sebelum suami berangkat ke kantor, saya mencium wangi yang tidak biasa.

"Papa pakai minyak wangi baru ya?"

Suamiku tertawa, "Hahaha ... bukan ini leher Papa seperti kejetit. Tadi minta tolong Reihan ngolesin Salonpas Gel"

Aku pun ikut tertawa. Bau Salonpas Gel kukira bau perfume baru. Suami saya adalah penggemar minyak wangi alias perfume nomor satu. Hanya keluar sebentar saja, dia kurang percaya diri kalau tidak menggunakan perfume. Sementara saya kurang suka menggunakannya. Pernah diberi hadiah perfume oleh suami dari luar negeri, hingga sekarang isi di dalam botol hanya berkurang sedikit.

Ada seorang teman perempuan penggemar berat perfume, sebut saja namanya S. S terutama sangat menggemari bau perfume di tubuh seseorang. Dia selalu suka bila ada teman laki-laki duduk dekat kami dan bau perfume yang menguar dari tubuhnya harum semerbak. Sementara saya tidak suka lelaki yang terlalu wangi. Saya lebih suka bau harum sabun mandi di tubuh lelaki daripada bau perfume.

Suatu hari kami berboncengan motor berdua, S di depan. Kami berhenti di sebuah lampu merah di perempatan yang ramai. Di sebelah kami berhenti seorang lelaki. Saat lampu merah berganti hijau, lelaki itu berbelok ke kanan. Kami sedianya lurus, tetapi S membelokkan setang motor ke kanan mengikuti lelaki tadi.

"Woiiii ..." seruku kaget, "Kita kan mau lurus, kenapa belok kanan?"

"Gila may, cowok itu enak banget baunya. Gak nyadar aku ngikutin dia. Bentar kita belok di depan ya," kata S sambil tertawa-tawa.

Hadeeeuhhh ... akibatnya kami pun agak terlambat datang ke tempat tujuan kami.

Kejadian S tiba-tiba berbelok mengikuti lelaki yang berbau wangi tidak hanya sekali itu. Dia seperti dicucuk hidungnya bila ada lelaki semacam itu. Sayalah yang biasanya menyadarkannya.

Ada seorang teman lelaki yang cukup dekat dengan kami berdua, sebut namanya H. Bila H datang pagi hari, S selalu mendekatinya. Menurut S, bau perfume H enak. Sedang saya tidak terlalu suka dengan wanginya. Saya malah mendekat ke H bila hari telah siang. Bau badan H dengan wangi perfume yang sudah tersamar keringat lebih nyaman di hidung saya.

Suatu saat kami koas bersama dan harus tinggal di pemondokan yang sama pula. H pun akhirnya mengetahui kebiasaan kami, sehingga di pagi hari dia mendekati S, sedang bila siang telah menjelang dia baru mendekati saya. Hahaha...

Hingga sekarang saya belum menemukan perfume yang saya rasa cocok dengan bau tubuh saya. Sehingga saya hanya menggunakan bedak bayi di sekujur tubuh atau pelembab di tangan dan kaki. Ternyata suami sangat menyukai kebiasaan saya ini. Bau saya khas katanya, bikin kangen. Sayangnya saya belum berhasil meminta dia untuk mengurangi kebiasaannya menggunakan perfume secara berlebihan. Menurut saya, bau sabun mandi di badannya lebih enak di hidung saya daripada bau perfume yang dia gunakan di sekujur tubuhnya.

Seorang teman seumuran saya baru-baru ini hamil. Kehamilannya agak sulit, karena dia terus menerus merasa tidak enak badan dan mual ingin muntah. Akibatnya kemana pun dia pergi, dia selalu membawa minyak kayu putih. Sebentar-sebentar dioleskannya minyak kayu putih itu ke leher dan beberapa bagian tubuhnya.

Suatu hari, kami menghadap dosen untuk keperluan konsultasi disertasi. Dosen saya tiba-tiba mengkerutkan hidungnya dan bersuara lantang...

'Ini siapa yang baunya seperti nenek-nenek di terminal?"

Hahahaha ... kami para mahasiswanya pun tertawa terbahak-bahak karenanya. Sedang teman saya yang hamil itu hanya bisa tersenyum kecut.



This note is dedicated to SS dan WH
plus my beloved dear Blues
and the pregnant woman RSD




Rabu, 09 September 2015

TIGA YANG PERTAMA

Suasana panas di Bulaksumur pagi itu tidak menyurutkan langkah semangatku. Pagi itu adalah hari pendaftaran ulang bagi mahasiswa baru di UGM. Aku baru saja sampai dari Jakarta, setelah sebelumnya sempat tersesat saat menuju ke arah kampus. Supir yang membawa kendaraan kami dari Jakarta kurang begitu mengenal jalanan di Yogyakarta. Saat masuk kota, kami bertanya pada seorang tukang becak arah menuju UGM. Si mas becak memberi arah dengan kata ..."Bangjo ngetan, lalu bapak lurus. Mengko ketemu bangjo ngulon. UGM sudah dekat situ pak."

Bangjo? Ngetan? Ngulon? Apa itu?? Mama yang orang Jawa pun hanya tahu bahwa ngetan dan ngulon itu maksudnya adalah arah Wetan alias Timur sedang ngulon itu adalah Kulon alias Barat. Tapi Bangjo ... waduh. Alhasil kami pun tersesat.

Tapi kebingungan pagi tadi sudah terlupakan. Aku sudah mengantre di loket daftar ulang. Suasana sangat ramai. Di depanku, berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi dan kurus dengan tampang culun. Di belakangku berdiri seorang wanita bergaya tomboi. Wanita dibelakangku menyapa dengan bahasa Jawa ngoko. Walau separuh berdarah Jawa, aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh si wanita tadi. Memahami kebingunganku, dia kembali mengulang kata-katanya dengan bahasa Indonesia.

"Ini loket untuk mahasiswa FKH kan? Takutnya saya salah antri."

Aku mengiyakan kata-katanya dan kami berdua mencocokkan berkas yang harus kami serahkan dengan daftar yang kami terima sebelumnya. Lelaki di depanku menoleh ke belakang. Dia tidak berkata-kata hanya sepertinya mendengar dan mecocokkan berkas yang kami sebutkan dengan berkas yang dipegangnya.

Setelah selesai mendaftar, kulihat Wiwin, demikian si wanita itu mengenalkan dirinya, menuju ke arah parkiran motor. Sedang si lelaki tadi entah menuju kemana. Aku menghampiri Mama yang menunggu di dekat tempat penjual minuman, ketika seseorang menyapaku.

"Mbak, tadi daftar ulang FKH ya? Sehabis ini kita kemana ya?"

Kulihat berkas di tanganku, kartu mahasiswa dengan nomor NIM terketik disana. Kulihat NIM si wanita yang menyapaku tadi. Tertera nama Hana dan NIM berbeda beberapa angka di atasku. Berarti, gumamku dalam hati, si Wiwin tadi NIM-nya terpaut satu angka di bawah aku. Sedangkan si lelaki yang belum kuketahui namanya itu memiliki NIM dengan beda 1 angka pula. Dikarenakan sebelumnya si Hana ini antri tidak jauh di depan kami.

Kukatakan pada Hana, bahwa berdasar petunjuk di berkas tersebut, setelah daftar ulang kami harus menuju FKH untuk tes buta warna. Hana mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Sesampainya di FKH, aku pun bertemu dengan si lelaki tadi yang baru saja dipanggil masuk ke sebuah ruangan. Wiwin tidak terlihat di sana. Beberapa saat kemudian, namaku pun dipanggil. Seorang wanita menyuruhku untuk menyebutkan warna-warna yang terletak di sebuah kartu. Dia menuliskan beberapa kalimat di kertas dan menyerahkan kertas itu ke aku. Aku dinyatakan bebas buta warna. Mahasiswa FKH diwajibkan untuk bebas buta warna, dikarenakan kemampuan melihat dan mengenali perbedaan warna sangat diperlukan untuk pendiagnosaan penyakit.

Saat aku keluar, aku bertemu dengan Hana lagi. Kami sempat mengobrol beberapa jenak. Ternyata dia berasal dari Palembang. Pantaslah logatnya familiar di telingaku. Beberapa saudara Papa tinggal di Palembang dan beberapa kali pula kami berkunjung kesana.

Kami pun berpisah, aku harus mencari tempat kost hari itu juga. Esok hari Papa dan Mama harus segera kembali ke Jakarta. Setelah melihat beberapa lokasi kost, diputuskan oleh Papa dan Mama bahwa aku kost di dekat kampus Sekip. Hanya berjarak selemparan batu dari kampus.

Saat mengambil jaket almamater di KOPMA UGM, aku bertemu lagi dengan si gadis tomboy, Wiwin. Gayanya yang santai membuat aku merasa nyaman mengobrol dengannya. Rumahnya di daerah Sleman dan dia memutuskan untuk pulang pergi dari rumah ke kampus. Aku tidak bisa membayangkan mengendarai motor, sendirian pula untuk pulang pergi sejauh itu. Aku sendiri jarang naik motor, hampir tidak pernah malah. Orang tua melarang dan menyarankan aku untuk naik kendaraan umum bila mobil kami sedang tidak bisa digunakan. Tak heran, aku tidak bisa membayangkan seperti apa Wiwin yang melaju dengan motornya setiap hari.

Di kemudian hari, dibonceng naik motor sering kulakukan. Bahkan aku belajar mengendarai motor, walau aku tidak pernah bercerita ke kedua orangtuaku bahwa aku belajar dan bisa naik motor. Sayangnya keberanian naik motor sendiri itu jarang kulakukan. Pertama memang tidak memiliki motor dan yang kedua jarang diberi kesempatan oleh teman yang lebih ahli. Saat ini, keberanian naik motor benar-benar hilang. Opsi menggunakan motor di Jakarta tidak pernah terlintas dalam pikiran.

Aku bertemu Hana lagi saat opspek. Kami berada dalam satu kelompok bersama lelaki culun yang kutemui saat daftar ulang itu. Kuketahui namanya Widi, asalnya dari Solo. Hana dan aku sama-sama bengong bila teman-teman dalam 1 kelompok berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Untunglah akhirnya satu dua orang di antara mereka bersedia menerjemahkan apa yang dimaksud dalam obrolan kelompok tersebut.

Aku ingat dipanggil seorang Rakanita...

"Kamu orang Jakarta ya?" tanya beliau sambil memandangku dari atas ke bawah. Aku yang ketakutan tiba-tiba dipanggil oleh dia mengangguk mengiyakan.

"Pantas. Dari tadi kamu memanggil kami-kami ini dengan sebutan kak. Panggilan untuk orang yang lebih tua disini itu mbak dan mas. Bukan Kakak!"

"Iya Kak.. eh maksud saya Mbak," kataku gugup.

Untunglah si Mbak baik hati dan menyuruh aku segera masuk ke kelompok.

Tugas untuk besok adalah membawa caplak jantan dan betina serta tulang untuk dikalungkan di leher. Widi menawarkan untuk mencarikan caplak bagi kami semua. Sedang aku dan Hana bertugas mencari tulang untuk hiasan kalung kami. Malam itu, aku dan Hana naik becak mencari tulang ke daerah Lempuyangan.

Di kemudian hari, Widi selalu menjadi partnerku dalam praktikum berpasangan. Hingga koas pun, kami berada dalam satu kelompok yang sama. Satu hal yang kuingat soal dia adalah, dia selalu menampilkan wajah terganggu bila aku memanggilnya dari jarak jauh ... "Widiiiiiiiii....." Biasanya menjelang kuliah dimulai, dia duduk di depan ruangan kelas bersama beberapa anak lain. Aku yang baru datang, melihat dia dan dari ujung tangga aku selalu berteriak memanggilnya. Semakin terganggu wajahnya, semakin senang aku memanggilnya hahaha... Dia selalu menjadi anggota dewan penasehatku. Menasehati panjang lebar bila yang kulakukan salah dimatanya. Tetapi dia selalu ada, bila aku membutuhkan bantuan dalam pelajaran. Walau dia tidak lupa mencela sebelum memberikan bantuan. Celaan dia tidak pernah masuk ke hati, karena aku tahu walau dia bersungut-sungut mengerjakan yang aku minta, bantuan dia selalu sempurna.

Hana dan aku ternyata memiliki tanggal lahir yang sama. Sehingga aku tidak kesulitan untuk bersahabat dengannya. Saat opspek, kami berkenalan dengan seorang lelaki yang berasal dari Kudus dengan logat Jawa yang sangat kental. Lelaki bernama Ugie ini akhirnya selalu mengikuti kemana pun Hana dan aku pergi. Kami bertiga bersahabat erat. Obrolan kami 'nyambung", kesukaan kami pun hampir mirip. Kami bertiga bersama beberapa orang membentuk semacam kelompok. Kelompok ini rutin menghabiskan waktu untuk menjelajah Yogya dan sekitarnya saat libur tiba. Nilai-nilai Hana dan Ugie lebih bagus dari aku, sehingga mereka lulus duluan dan Koas terlebih dulu pula. Tetapi hal tersebut tidak menghalangi persahabatan kami.

Itulah Hana, Widi dan Wiwin... tiga orang pertama yang kutemui saat mendaftar ulang di FKH UGM. Mereka jugalah tiga sahabat pertamaku saat kuliah. Semoga persahabatan kami tidak terhapus oleh masa.



This one is dedicated to HANA, WIDI dan WIWIN...

KUKU

Pagi ini sengaja memotong kuku pendek-pendek karena esok hari hendak membantu pelaksanaan praktikum "Handling and Restrain" hewan bagi paramedik. Sewaktu masih bekerja di lapangan saat di pelabuhan Merak dulu, saya tidak pernah berkuku panjang. Rasanya risih melihat kuku kotor terkena debu jalanan. Belum lagi bila harus menggunakan sarung tangan karet, kuku panjang bisa membuat sarung tangan robek. Memiliki kuku panjang serta rutin diberi inai/pacar sebenarnya baru dimulai ketika bekerja di balik meja sekarang ini. Senang saja rasanya melihat tangan terlihat cantik dengan kuku panjang.

Sewaktu koas dulu, juga jarang berkuku panjang. Setiap hari memegang beragam hewan, menguji spesimen di laboratorium, atau berkotor-kotor melakukan pemeriksaan kebuntingan pada sapi adalah alasan kenapa kuku mahasiswi koas Kedokteran Hewan diwajibkan pendek. Sebenarnya tidak ada aturan tertulis untuk berkuku pendek. Tetapi demi alasan kepraktisanlah, para mahasiswi jarang berkuku panjang.

Usai pelantikan dokter hewan, saya sempat praktek. Sekali lagi saya harus berkuku pendek. Tidak mungkin rasanya seorang dokter hewan praktek memiliki kuku panjang. Alhasil waktu menikah, sang perias pengantin menyesali kuku pendek saya karena tidak terlihat cantik dimatanya. Sambil memakaikan inai, dia berkeluh kesah panjang pendek. Saya hanya tersenyum tidak berdaya.

Setelah menikah, saya ikut suami ke Yogya dan tidak melanjutkan praktek. Keinginan berkuku panjang harus ditunda karena anak pertama lahir. Memegang bayi rasanya tidaklah nyaman bila berkuku panjang. Rasa takut kuku akan menggores kulitnya yang lembut membuat saya menunda lagi keinginan berkuku panjang. Jangankan merawat kuku, menyisir rambut pun kadang tidak sempat saat itu. Mengurus bayi hanya berdua suami, tanpa bantuan orang lain membuat saya pontang-panting.

Suatu hari, saya meminta tolong suami untuk memotong kuku bayi kami. Saya kesulitan memotong kuku sekaligus menggendongnya, karena bayi kami tipe aktif yang tidak mau diam. Suami pun memotong kuku bayi kami satu demi satu. Satu hal yang saya lupakan, ruangan tempat memotong agak gelap dan suami tidak memakai kacamatanya. Tanpa sengaja, dia memotong sedikit kulit ari pada jari manis, akibatnya darah pun mengucur. Tidak deras hanya cukup banyak untuk membuat kami berdua panik. Kami pun segera melarikan bayi kami ke rumah sakit. Maklum anak pertama, segala hal yang tidak normal ditanggapi dengan kepanikan. Padahal sebenarnya hanya dengan menekan luka menggunakan kapas dan memberi bethadine persoalan pun selesai. Perawat yang menangani di ruang UGD pun menyatakan bahwa ini bukan luka besar yang perlu dibawa ke RS, tetapi orang tua panik ya tetap saja panik. Apa pun yang dikatakan orang. Hal ini membuat suami trauma, tidak pernah lagi dia mau memotong kuku anak-anaknya. Dia memilih bebersih rumah atau setrika daripada memotong kuku kedua anak kami. Hahaha... tentu saja saya suka dengan pilihan dia.

Anak kami yang sulung sudah tidak pernah lagi saya potongkan kukunya sejak kelas 1 SMP. Tetapi sesekali saya sengaja meluangkan waktu untuk memotong dan membersihkan kuku kaki dan tangannya. Bukan karena dia tidak bisa, tetapi saat memotong kuku menurut saya adalah saat kami berdua untuk bercerita banyak hal. Sesekali saya juga memotong kuku kaki dan tangan suami, tapi dia kurang suka dipotongkan kukunya. Katanya, kalau saya yang memotong terlalu pendek dan terasa geli. Entah dimana hubungannya potong kuku dan rasa geli.

Sejak bekerja di Bekasi, mulailah saya agak genit memanjangkan kuku. Kewajiban untuk memegang hewan dan masuk ke laboratorium sudah sangat berkurang. Sehingga dengan suka ria saya memanjangkan kuku serta sesekali memberinya inai. Cincin yang saat bekerja di Merak jarang saya pakai, di kantor Bekasi ini tidak pernah lepas lagi dari jari. Perjalanan Merak-Jakarta yang saya tempuh menggunakan kendaraan umum menyebabkan saya melecuti perhiasan apa pun yang melekat di badan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

Tetapi berkuku panjang ternyata tidak dipandang menarik oleh si bungsu. Menurut dia, kuku saya yang panjang sering menyebabkan kulitnya tergores saat saya memeluk dan menggosok-gosok badannya menjelang tidur. Tetapi berhubung mamanya sedang centil, protes itu tidak saya hiraukan. Melihat kuku panjang di jemari sendiri rasanya membuat saya cantik setengah mati hehehe.

Rupanya berkuku panjang memang memiliki banyak persyaratan. Akhir-akhir ini nyamuk cukup banyak di rumah. Tanpa sadar, saat tidur saya sering menggaruk kaki dan tangan. Garukan kuku menimbulkan bekas di sana sini, menimbulkan protes suami. Sepertinya saya memang ditakdirkan tidak berkuku panjang. Dan pagi ini dengan sedih saya harus memotongnya (lagi).







Selasa, 08 September 2015

RANGKUMAN KULWAP KELUARGA SEHATI

Rangkuman Kulwap Keluarga Sehati
Sabtu, 05 September 2015
13.00-14.00 WIB
Bersama Ibu Elia Daryati dan Ibu Anna Farida

Tanya:
1. Apakah sifat romantis merupakan sifat dasar seseorang? Jika sebagian orang bisa dengan mudah menunjukkan sikap romantis, apakah yang tidak mampu menunjukkan romantisme disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang kurang kasih sayang?
Jawab:
Bu Elia: Sikap romantis merupakan bentuk ekspresi dari cara seseorang mengungkapkan perasaan sayang.
Ada yang mampu mengekspresikannya dengan bahasa ekspresif/bahasa tubuh yang ekspresif, bahasa verbal dan non verbal, ada juga yang tidak dapat mengungkapkannya secara terbuka.
Akan tetapi setiap pasangan mungkin memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Hal ini bisa dikomunikasikan.
Romantisme sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang yang diekspresikan.
Apakah masa lalu yang kurang kasih sayang dapat mempengaruhi sikap romantisme?
Tentu saja bisa.
Karena ini terkait dengan 'pembelajaran' dalam mengekspresikan kasih sayang.
Dapatkah ekspresi romantisme dilatih?
Tentu saja bisa.
Setiap manusia sebetulnya memiliki keinginan yang sama untuk dicintai dan mencintai, disayangi dan menyayangi.
Buktinya pernikahan itu terjadi. Pada akhirnya romantisme sesungguhnya adalah naluri manusia.

2. Amankah bersikap romantis di depan anak-anak?
Jawab:
Bu Elia: Orangtua bersikap romantis di depan anak tentu saja aman. Justru anak sedang mendapatkan pembelajaran bagaimana kasih sayang itu diekspresikan.
Batasannya tentu saja yang bersifat ekspresi kasih sayang dengan kata-kata/sentuhan lembut yang tidak menjurus pada ekspresi bercinta.
Ekspresi mencintai dan bercinta pasti berbeda.
Perbedaannya tidak menunjukkan adanya 'hasrat'.
Sekedar ekspresi cinta yang lembut saling menyayangi antar anggota keluarga.
Anak akan mengimitasi ekspresi tersebut, dan digunakan sebagai referensi kelak ketika dewasa mereka akan memiliki panduan bagaimana cara mengungkapkan kasih sayang terhadap pasangan dan anggota keluarga lainnya.
Memiliki keluarga yang romantis adalah sebuah keberuntungan tersendiri bagi anak.
Ibu Anna:
Suami istri yang romantis biasanya akan menjadi orangtua yang romantis juga ke anak-anak.
Demikian pula sebaliknya.
Anak-anak harus dicelup terus dengan kasih sayang, agar ketika dewasa dan berumahtangga juga memiliki konsep yang baik tentang keluarga.

3. Sepertinya memang perempuan paling sulit mengungkapkan perasaannya yang terkubur begitu dalam. Sekalinya mau mengeluarkan isi hati, yang ada hanya air mata yang keluar.
Jawab:
Bu Elia: Sulit mengungkapkan perasaan sebetulnya bisa dilatih.
Sulit itu sebenarnya untuk orang yang cenderung memiliki sifat introvert. Sedangkan yang memiliki sifat ekstrovert agak berbeda.
Seni mengungkapkan perasaan memang harus dilatih melalui pembelajaran komunikasi dengan pasangan.
Jika kita memiliki banyak kata-kata yang ingin disampaikan, tapi tidak terbiasa menyampaikan dan memilih untuk menyimpan dalam lubuk hati terdalam, lama kelamaan tabungan kata-kata kita akan semakin banyak dan sulit untuk memilahnya.
Lalu apa yang terjadi?
Tabungan kata-kata kita ingin berebutan keluar secara bersamaan. Yang terjadi akhirnya kita menangis. Dan kata-kata yang keluar menjadi tidak terstruktur, pada akhirnya menangis juga.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menenangkan diru. Selanjutnya ungkapkan satu persatu apa yang ingin disampaikan. Walaupun tidak selalu berhasil, minimal ada sebagian pesan 'rasa' yang telah tersampaikan. Tenang saja, pasangan yang baik akan menangkap makna ini meskipun secara keseluruhan detailnya tersampaikan. Selalu saja ada bahasa kalbu yang dapat dipahami oleh pasangan. Bukan saja ungkapan kata yang disampaikan, tetapi juga getar rasa yang terasakan. Seiring berjalannya waktu kita dapat melatih ketenangan diri dan lebih bijak dalam memyampaikan hal-hal yang awalnya terasa berat.
Saya pernah mencoba dengan mengirim email ke pasangan, dan jawabannya wah tidak disangka dan sungguh menakjubkan.
Ibu Anna: biasanya justru kalau malu-malu bilang, langsung lebih bebas dan ekspresif ketika pakai media sosial seperti whatsapp dan BBM. Ya nggak? Hayooo ngakuuu?

4. Cinta menumbuhkan romantisme atau romantisme menumbuhkan cinta?
Jawab:
Ibu Anna: cinta dan romantisme itu saling mengisi, saling menghadirkan. Bukan satu mendahului yang lain, tapi yang satu memestikan yang satunya

5. Bagaimana menumbuhkan rasa 'perlu bersikap romantis' pada pasangan? secara kaum hawa suka diperlakukan romantis, sudah mempraktekkan ke suami, sudah menyampaikan juga bahwa ingin diperlakukan romantis, sudah dijawab oleh suami 'iya', 'mengerti', tapi belum dipraktekkan juga. Bukan karena tidak bisa, namun tidak suka dan merasa tidak perlu.
Jawab:
Bu Elia: Kalau kita datang dengan hati, maka dia akan datang dengan hati.
Jika diantara kita dan pasangan masih ada jarak, maka jarak itu yang didekatkan.
Kita turun, dia naik. Sehingga jarak itu akan semakin dekat.
Tugas kita memang tidak untuk memaksa mengubah, tapi menginspirasi untuk berubah.
Lama kelamaan akan terwarnai dengan sendirinya tanpa paksaan.

6. Jadi kita ikhlas beromantis tanpa berharap balasan romantis?
Jawab:
Ibu Anna: Dari sisi praktis, kita ambil contoh suami suka main bola.
Anda tidak menganggap main bola itu penting. Tapi karena Anda tahu main bola akan membuatnya bahagia, Anda akan berusaha menyukainya. Setidaknya mendukung kesenangannya itu.
Main bola tidak melanggar kesehatan juga tidak melanggar agama.
Nah, sebagai pasangan kita mesti saling mengerti apa yang dianggap penting oleh pasangan.
Kalau pasangan kita tidak tahu, ya dikasih tau.
Bu Elia: Prinsipnya 'kasih ... kasih ... kasih ... '
Lama-lama akan 'terima ... terima ... terima ... '
Ikhlas itu seni berinteraksi untuk saling mempengaruhi.

7. Bagaimana kalau anak sudah banyak, persoalan juga tak kalah bejibun, semua bagai rutinitas, pasangan sepertinya semakin jauh padahal ada di sebelah.
Jawab:
Bu Elia: Ruang dan waktu juga rutinitas sebetulnya tidak akan menghilangkan rasa romantisme yang pernah terbangun.
Namun jika tidak dipelihara dan dihidupkan, akan memudar bersama waktu.
Seperti tanaman, bukankah harus disiram dan dipupuk agar tidak layu dan mati?
Demikian juga perasaan romantis. Selalu memberi waktu luang untuk romantis sesibuk apapun.
Tidak selamanya romantis harus dalam kondisi jumpa darat juga. Bisa juga lewat tulisan/sapaan sederhana melalui pesan singkat.

8. Bagaimanakah sikap anak yang telah dewasa yang berniat membangkitkan romantisme orangtuanya?
Jawab:
Ibu Anna: Pernikahan yang sudah berumur tidak seharusnya membuat romantisme memudar. Justru karena anak sudah dewasa, waktu untuk berdua relatif lebih leluasa.
Coba berikan ibu dan ayah kita voucher makan berdua, atau tiket pesawat ke Hawaii, hehehe ...
Ibu Elia: Anak yang sudah dewasa bisa memediasi orangtuanya untuk menghangatkan suasana romantisme.

9. Kalau ibu dan ayah merasa nggak sreg dan memilih bertahan dalam pernikahan yang hambar tanpa romantisme demi anak-anak dan status sosial?
Jawab:
Ibu Elia: Harus diselesaikan oleh orang ketiga.
Ada proses mediasi di sana.
Karena berkeluarga dengan tidak sehat akan menjadi bom waktu.
Kesimpulan
Ibu Elia:
Rasa romantisme adalah kebutuhan dasar setiap orang. Seiring berjalannya waktu rasa kasih sayang bisa memudar jika kita tidak menjaganya.
Ibu Anna:
Saya mau ngasih tips kecil, kadang pasangan itu tidak langsung seayun selangkah.
Kadang ada yang tertinggal, ada yang terlalu cepat melangkah.
Ada yang ngotot pingin romantis, ada yang adem ayem saja.
Nah, karena rumah tangga itu milik berdua, kalau yang satu kurang romantis, yang satunya wajib memimpin.
Lead the way! Ajari dia.
Kulwap ini disponsori oleh Buku Marriage with Heart.
Ada banyak trik menjaga romantisme di sana!
Semoga sudah punya bukunya, yaaa

Pengikut